Menghidupkan Kembali Lahan Rusak Indonesia Lewat Tanaman Karet
Oleh Irfan Ahmad Fauzi – Ketua Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo)
Indonesia sedang menghadapi dua tantangan besar sekaligus: kerusakan lingkungan yang terus meluas dan semakin dalamnya jurang kemiskinan agraria. Jutaan hektare lahan kritis—mulai dari bekas tambang, areal pascakonversi, hingga kawasan yang pernah dilanda kebakaran—terbengkalai tanpa fungsi ekonomi maupun ekologi. Di sisi lain, petani kecil di desa makin terjepit oleh harga komoditas yang tidak stabil dan akses pasar yang lemah.
Dalam situasi seperti ini, karet sebenarnya menyimpan peluang besar untuk dijadikan fondasi rehabilitasi lahan nasional. Bukan hanya sebagai program penghijauan, tetapi sebagai strategi ekonomi dan sosial yang masuk akal dan realistis.
Indonesia memiliki sekitar 3,55 juta hektare kebun karet, dan hampir seluruhnya—sekitar 90 persen—dikelola petani kecil. Karet adalah komoditas rakyat. Namun dalam beberapa tahun terakhir, luas lahan terus menyempit dan produktivitas turun karena banyak kebun telah uzur, tidak dirawat, dan minim replanting.
Yang ironis, penurunan sektor karet terjadi bersamaan dengan membesarnya jumlah lahan yang rusak. Padahal, secara ekologis, karet adalah tanaman yang kuat, berakar dalam, mampu tumbuh di tanah marginal, dan memberikan keteduhan. Di banyak wilayah Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi, karet bisa menjadi pintu masuk terbaik untuk memulihkan bentang alam.
Namun rehabilitasi lahan tidak bisa dilakukan dengan pola lama—program besar, seragam, dan mengabaikan petani. Rehabilitasi berbasis karet harus menempatkan petani kecil sebagai pelaku utama. Pemerintah dapat memulai dari lahan-lahan yang sudah tidak memiliki fungsi ekonomi: bekas tambang, bekas tebangan, dan lahan tidur lainnya.
Dari sisi ekonomi, peluangnya besar. Nilai ekspor karet alam Indonesia pada 2023 mencapai sekitar US$ 2,48 miliar. Bila produktivitas ditingkatkan dan industri hilir diperkuat sehingga bahan mentah tidak lagi dijual apa adanya, petani akan merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan. Saat ini saja banyak industri hilir beroperasi jauh di bawah kapasitas karena pasokan bahan baku menipis.
Dari sisi ekologi, manfaatnya jelas. Tegakan karet terbukti mampu menyerap karbon dalam jumlah besar. Dengan pendekatan agroforestry—dikombinasikan dengan tanaman buah, kayu, atau pangan—kebun karet dapat meningkatkan biodiversitas, menjaga kelembapan tanah, sekaligus menghadirkan sumber pendapatan tambahan.
Jika Indonesia ingin menggabungkan pemulihan lingkungan, pengentasan kemiskinan, dan revitalisasi sektor pertanian, maka karet adalah opsi yang paling rasional. Yang penting, kita tidak mengulang kesalahan masa lalu: membuka hutan primer, menggeser masyarakat adat, atau menciptakan monopoli perkebunan.
Rehabilitasi ideal adalah ketika lahannya pulih, dan masyarakat yang menanamnya juga terangkat kesejahteraannya.
Karena itu diperlukan arah kebijakan yang berani. Pemerintah harus memastikan tata ruang dan anggaran berjalan tepat sasaran, lembaga keuangan membuka akses modal, industri hilir menyerap produksi petani dengan harga yang manusiawi, dan akademisi terus memperbaiki teknik budidaya agar lebih efisien. Jika semua bergerak bersama, lahan tandus hari ini dapat berubah menjadi ruang hidup baru bagi ekonomi desa dan ekologi nasional.
Karet memberi kita kesempatan untuk memulihkan tanah sekaligus memulihkan martabat petani. Itulah esensi rehabilitasi yang sebenarnya: tanah kembali subur, dan manusia yang merawatnya dapat hidup lebih layak. Masa depan pertanian yang hijau dan adil bisa dimulai dari satu pohon karet.
