Rabu, 17 Desember 2025

OPINI : Ketika Patung Pahlawan Kehilangan Martabat Estetiknya

 



*Catatan Kritis atas Patung Sultan Thaha Syaifuddin di Ruang Publik Provinsi Jambi

Oleh: Martayadi Tajuddin

(Latar Belakang Pendidikan  Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung)


Patung pahlawan nasional di ruang publik bukanlah sekadar objek estetika atau pelengkap tata kota. Ia adalah medium ideologis, representasi visual sejarah, sekaligus alat pendidikan kultural yang bekerja secara diam-diam namun terus-menerus. Dalam konteks ini, patung tidak hanya “dilihat”, tetapi juga “dibaca” oleh publik lintas generasi. Oleh sebab itu, setiap patung pahlawan memikul tanggung jawab intelektual, artistik, dan etis yang tidak ringan.

Penggantian patung Sultan Thaha Syaifuddin di kawasan Kantor Gubernur Jambi—yang sebelumnya merupakan karya maestro pematung Edy Sunarso—dengan patung versi baru, perlu ditempatkan dalam ruang kritik yang jujur dan akademis. Kritik ini penting bukan untuk meniadakan niat baik, melainkan untuk menguji kualitas representasi visual seorang Pahlawan Nasional yang memiliki posisi historis dan simbolik sangat penting bagi identitas masyarakat Jambi.

Dalam tradisi seni patung figuratif akademik, khususnya patung tokoh sejarah, terdapat prinsip-prinsip dasar yang tidak dapat ditawar. Herbert Read menegaskan bahwa patung figuratif “menuntut ketepatan proporsi, kesatuan bentuk, dan ekspresi yang mampu menyampaikan makna psikologis subjek” (Read, 1956). Jika prinsip ini diabaikan, maka patung kehilangan kekuatan representasionalnya dan jatuh menjadi sekadar benda dekoratif berskala besar.

Secara visual, patung Sultan Thaha versi baru menunjukkan persoalan serius pada proporsi dan anatomi tubuh. Relasi antara kepala, badan, dan kaki tampak tidak harmonis. Kepala cenderung terlalu besar, torso terasa pendek dan tidak membangun kesan kekokohan, sementara kaki memanjang secara kaku tanpa artikulasi anatomi yang meyakinkan. Kesalahan proporsi semacam ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan menyentuh aspek paling fundamental dari seni patung figuratif. Sebagaimana ditegaskan oleh Rudolf Wittkower, ketidaktepatan proporsi akan langsung memengaruhi persepsi psikologis penonton terhadap figur yang dihadirkan (Wittkower, 1977).

Masalah menjadi semakin kompleks ketika proporsi yang lemah tersebut dipadukan dengan gestur tubuh yang keliru secara simbolik. Gestur tangan menunjuk ke depan yang digunakan dalam patung ini secara semiotik lebih dekat dengan bahasa tubuh figur komandan, orator massa, atau tokoh populis. Dalam kajian semiotika tubuh, gestur menunjuk adalah gestur dominatif dan instruktif (Birdwhistell, 1970). Gestur ini sulit dipertanggungjawabkan sebagai representasi visual seorang sultan Melayu yang secara historis dikenal sebagai pemimpin berwibawa, mengayomi, dan mempersatukan wilayah melalui adat, diplomasi, serta otoritas moral.

Sultan Thaha Syaifuddin bukan sekadar figur perlawanan bersenjata, tetapi juga simbol kepemimpinan kultural dan religius. Gestur yang tepat bagi figur semacam ini seharusnya menampilkan ketenangan, martabat, dan otoritas simbolik—bukan agresivitas visual yang justru mereduksi kedalaman karakter historisnya. Dalam konteks ini, bahasa tubuh patung tidak hanya gagal memperkuat karakter Sultan Thaha, tetapi juga berpotensi mengaburkan identitas kultural yang seharusnya dijunjung tinggi.

Aspek lain yang tak kalah problematis adalah ekspresi wajah. Ekspresi patung tampak datar, generik, dan miskin ketegangan psikologis. Padahal, menurut Ernst Gombrich, kekuatan seni representasional terletak pada kemampuannya “menghadirkan ilusi kehidupan dan konflik batin manusia” (Gombrich, 1995). Sultan Thaha adalah tokoh dengan sejarah perlawanan panjang, pengasingan, dan keteguhan prinsip. Ketika ekspresi wajah patung gagal menghadirkan kompleksitas psikologis tersebut, maka yang hadir bukanlah figur pahlawan, melainkan sosok anonim yang kehilangan konteks sejarahnya.

Jika dibandingkan secara langsung dengan patung Sultan Thaha karya Edy Sunarso, perbedaan kualitas artistik menjadi sangat mencolok. Karya Edy Sunarso memperlihatkan pemahaman mendalam terhadap anatomi, gestur simbolik, dan ekspresi dramatik yang mampu mengangkat martabat tokoh di atas realitas fisiknya. Inilah yang oleh Alois Riegl disebut sebagai “nilai memorial” dalam karya seni publik—kemampuan karya untuk melampaui fungsi visual dan menjadi penanda memori kolektif (Riegl, 1982).

Sebaliknya, patung versi baru cenderung menampilkan ciri-ciri produksi dekoratif monumental: detail busana yang dangkal, lipatan kain yang monoton, serta penyelesaian permukaan yang minim eksplorasi artistik. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang cara kita memandang patung pahlawan hari ini: apakah ia masih diperlakukan sebagai karya seni dengan tanggung jawab akademik, atau telah direduksi menjadi proyek visual berbasis teknis dan administratif semata?

Ruang publik adalah ruang pendidikan. Patung pahlawan yang berdiri di pusat pemerintahan tidak hanya berbicara kepada generasi hari ini, tetapi juga membentuk imajinasi sejarah generasi mendatang. Ketika kualitas artistik dan simbolik patung pahlawan diabaikan, yang tereduksi bukan hanya nilai estetiknya, melainkan juga martabat sejarah yang diwakilinya.

Tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai serangan personal, melainkan sebagai ajakan untuk evaluasi terbuka dan bertanggung jawab. Sudah saatnya perencanaan dan penciptaan patung pahlawan nasional melibatkan kajian lintas disiplin—seni rupa, arsitektur, sejarah, dan budaya—agar ruang publik kita tidak dipenuhi oleh simbol-simbol yang miskin makna.

Bangsa yang besar tidak hanya menghormati pahlawannya melalui seremoni dan slogan, tetapi juga melalui kualitas visual yang ia wariskan di ruang publiknya.

Daftar Pustaka

1. Birdwhistell, R. L. (1970). Kinesics and Context: Essays on Body Motion Communication. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

2. Gombrich, E. H. (1995). The Story of Art. London: Phaidon Press.

3. Read, H. (1956). The Art of Sculpture. London: Faber and Faber.

4. Riegl, A. (1982). The Modern Cult of Monuments. Vienna: Oppositions.

5. Wittkower, R. (1977). Sculpture: Processes and Principles. New York: Harper & Row.

*Pengamat dan Pecinta  Seni Rupa dan Akademisi