Rabu, 17 Desember 2025

OPINI : Publik, Kepemimpinan, Dan Tanggung Jawab Desain Pemerintah Daerah




*Catatan Lanjutan atas Patung Sultan Thaha Syaifuddin di Ruang Publik Provinsi Jambi

Oleh: Martayadi Tajuddin

Pengamat dn Pecinta Seni Rupa dan Akademisi

(Latar Belakang Pendidikan Seni Rupa dan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung)


Kritik terhadap karya seni di ruang publik sejatinya tidak berhenti pada objeknya semata, melainkan harus dilanjutkan pada sistem yang melahirkannya. Patung Sultan Thaha Syaifuddin di kawasan Kantor Gubernur Jambi, sebagaimana telah dibahas dalam tulisan sebelumnya, merupakan produk dari sebuah proses birokratis, teknokratis, dan kebijakan desain yang melibatkan banyak pihak di lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi. Oleh karena itu, kritik ini perlu diarahkan secara konstruktif kepada struktur pengambilan keputusan daerah yang berada di baliknya.


Dalam konteks pemerintahan daerah, Gubernur sebagai pemimpin tertinggi memiliki visi dan kehendak kebijakan untuk menghadirkan simbol-simbol representatif di ruang publik. Namun visi tersebut pada praktiknya diterjemahkan oleh jajaran teknis dan staf pendukung, khususnya bidang yang membidangi perencanaan dan perwujudan desain ruang publik, dalam hal ini Bidang Cipta Karya Dinas PUPR Provinsi Jambi. Di sinilah letak persoalan yang perlu dievaluasi secara serius.


Dalam disiplin arsitektur dan perancangan kota, dikenal istilah design governance, yaitu mekanisme bagaimana pemerintah daerah mengelola kualitas desain melalui regulasi, kompetensi sumber daya manusia, dan proses kurasi profesional. Matthew Carmona menegaskan bahwa kualitas ruang publik sangat ditentukan oleh sejauh mana pemerintah mampu mengelola desain sebagai proses kultural, bukan sekadar urusan teknis dan administratif (Carmona, 2014). Ketika desain dipahami semata sebagai produk fisik, maka kualitas makna dan simboliknya hampir pasti terabaikan.


Kasus patung Sultan Thaha memperlihatkan gejala klasik lemahnya tata kelola desain ruang publik di tingkat daerah. Alih-alih melibatkan kajian akademik, kurator seni, sejarawan, dan budayawan lokal secara memadai, proses penciptaan patung tampak lebih menyerupai mekanisme proyek fisik rutin. Akibatnya, lahirlah karya yang secara teknis berdiri, tetapi secara artistik dan simbolik kehilangan bobot.


Dalam konteks ini, kritik konstruktif perlu diarahkan kepada Gubernur Jambi sebagai pengambil kebijakan tertinggi di daerah. Evaluasi bukan ditujukan pada niat atau komitmen beliau terhadap pembangunan identitas budaya Jambi, melainkan pada kinerja dan kompetensi perangkat teknis yang bertugas menerjemahkan visi kepemimpinan ke dalam bentuk desain ruang publik. Seorang pemimpin daerah hanya dapat dinilai dari kualitas keputusan yang dihasilkan oleh sistem birokrasi yang bekerja di bawahnya.


Bidang Cipta Karya Dinas PUPR Provinsi Jambi memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa setiap elemen visual di ruang publik memenuhi standar estetika, historis, dan kultural yang layak. Namun patung Sultan Thaha menunjukkan bahwa standar tersebut belum dijalankan secara optimal. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah perangkat teknis yang ada memiliki kecakapan konseptual dan kepekaan budaya untuk menangani proyek-proyek yang bersifat simbolik dan ideologis?


Dalam kajian arsitektur dan fenomenologi ruang, Christian Norberg-Schulz menyatakan bahwa ruang publik dan elemen di dalamnya harus mampu membangun genius loci, atau roh tempat, yang mengakar pada sejarah dan identitas lokal (Norberg-Schulz, 1980). Ketika patung pahlawan justru terasa asing secara karakter dan miskin kedalaman simbolik, maka yang gagal bukan hanya individu perancangnya, tetapi juga sistem perencanaan dan pengawasan desain yang dijalankan oleh pemerintah daerah.


Oleh karena itu, langkah korektif yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Provinsi Jambi bukanlah langkah reaktif atau defensif, melainkan evaluatif dan visioner. Pertama, perlu dilakukan evaluasi desain terhadap karya-karya ruang publik yang bersifat simbolik dengan melibatkan akademisi seni rupa, arsitektur, sejarawan, serta budayawan Jambi. Evaluasi ini bertujuan membangun standar kualitas visual yang jelas dan kontekstual.


Kedua, penting untuk membentuk mekanisme kurasi independen dalam setiap proyek seni dan monumen publik di tingkat provinsi. Pemerintah daerah tidak semestinya menyerahkan desain simbol daerah semata-mata kepada mekanisme tender teknis, karena aspek simbolik dan kultural tidak dapat diukur hanya dengan parameter administratif.


Ketiga, penguatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan teknis, khususnya pada Bidang Cipta Karya Dinas PUPR, perlu menjadi agenda serius. Kolaborasi dengan perguruan tinggi seni dan arsitektur, pelatihan lintas disiplin, serta keterbukaan terhadap kritik publik harus menjadi bagian dari budaya kerja institusional pemerintah daerah.


Kritik ini pada akhirnya harus dibaca sebagai bentuk kepedulian terhadap martabat ruang publik Jambi. Seorang gubernur tidak hanya diukur dari capaian pembangunan fisik, tetapi juga dari kualitas simbol dan nilai budaya yang ia wariskan kepada masyarakatnya. Patung pahlawan adalah warisan visual jangka panjang; kesalahan hari ini akan menjadi beban sejarah di masa depan.


Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Jambi memandang seni dan desain ruang publik sebagai bagian integral dari strategi kebudayaan daerah, bukan sekadar pelengkap proyek pembangunan. Koreksi dan evaluasi yang dilakukan hari ini justru akan memperkuat legitimasi kepemimpinan dan menunjukkan keberanian moral untuk belajar dari kritik.


Sejarah daerah akan mencatat bukan siapa yang paling cepat membangun, tetapi siapa yang paling 

bertanggung jawab dalam membangun makna.


Daftar Pustaka

1. Birdwhistell, R. L. (1970). Kinesics and Context: Essays on Body Motion Communication. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

2. Carmona, M. (2014). The place-shaping continuum: A theory of urban design process. Journal of Urban Design, 19(1), 2–36.

3. Gombrich, E. H. (1995). The Story of Art. London: Phaidon Press.

4. Norberg-Schulz, C. (1980). Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. New York: Rizzoli.

5. Read, H. (1956). The Art of Sculpture. London: Faber and Faber.

6. Riegl, A. (1982). The Modern Cult of Monuments. Vienna: Oppositions.

7. Wittkower, R. (1977). Sculpture: Processes and Principles. New York: Harper & Row.