Kamis, 18 Desember 2025

OPINI : Menuju Patung Pahlawan Yang Bermartabat

 



*Kerangka Ideal Perwujudan Patung Sultan Thaha Syaifuddin di Ruang Publik Provinsi Jambi

Oleh: Martayadi Tajuddin

Pengamat dan Pecinta Seni Rupa dan Akademisi

(Latar Belakang Pendidikan  Teknik Arsitektur ITB)


Setelah kritik diajukan dan berbagai persoalan struktural diidentifikasi, pertanyaan yang paling penting bukan lagi apa yang salah, melainkan apa yang seharusnya dilakukan. Kritik yang tidak berujung pada kerangka solusi berisiko berubah menjadi sekadar kegaduhan wacana. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk merumuskan kerangka ideal perwujudan patung Sultan Thaha Syaifuddin sebagai karya seni publik yang bermartabat secara estetik, historis, dan kultural.


Hal pertama yang perlu ditegaskan adalah bahwa patung pahlawan tidak boleh dipahami sebagai proyek fisik semata. Ia bukan sekadar persoalan ukuran, bahan, atau tenggat anggaran. Patung pahlawan adalah produk kebudayaan yang bekerja pada ranah simbolik dan memori kolektif. Alois Riegl telah menegaskan bahwa monumen publik memiliki nilai memorial yang hanya dapat hadir ketika karya tersebut mampu melampaui fungsi materialnya (Riegl, 1982). Dengan demikian, patung Sultan Thaha harus dipahami sebagai representasi visual identitas Jambi, bukan sekadar ornamen ruang kota.


Secara konseptual, figur Sultan Thaha Syaifuddin perlu ditempatkan sebagai sosok pemimpin yang utuh: sultan, ulama, dan pejuang. Kerangka desain yang ideal tidak terjebak pada heroisme fisik yang dangkal, melainkan menggali kualitas kepemimpinan simbolik—keteguhan prinsip, kewibawaan moral, dan kecerdasan kultural. Dalam konteks ini, gestur tubuh menjadi elemen kunci. Gestur yang tenang, tertahan, dan berwibawa jauh lebih tepat dibanding gestur agresif atau teatrikal yang justru berpotensi mereduksi Sultan Thaha menjadi figur pahlawan generik.


Dari sisi anatomi dan proporsi, patung pahlawan ideal menuntut kepatuhan pada kaidah figuratif akademik. Ketepatan proporsi bukan sekadar persoalan estetika, melainkan fondasi psikologis kehadiran figur di ruang publik. Rudolf Wittkower menekankan bahwa proporsi yang tepat menciptakan rasa keseimbangan dan otoritas visual yang secara bawah sadar memengaruhi persepsi penonton (Wittkower, 1977). Oleh karena itu, perwujudan patung Sultan Thaha harus dikerjakan oleh pematung dengan kompetensi figuratif yang teruji, bukan semata kemampuan teknis produksi.


Ekspresi wajah memegang peran sentral dalam membangun narasi visual. Ekspresi Sultan Thaha tidak perlu dramatik berlebihan, tetapi harus menyimpan kedalaman psikologis—ketenangan yang lahir dari pengalaman panjang perlawanan dan pengasingan. Wajah yang kosong atau netral akan mereduksi kekuatan simbolik patung dan menghilangkan daya naratifnya sebagai medium sejarah visual.


Namun, pada titik inilah aspek krusial sering diabaikan: perlunya kajian mendalam dan persamaan persepsi yang disepakati bersama mengenai wajah dan karakter fisik Sultan Thaha sebelum ia difigurasikan dalam bentuk patung. Representasi visual tokoh sejarah tidak pernah netral; ia selalu membawa klaim kebenaran simbolik. Karena itu, figurasi wajah, busana, dan atribut Sultan Thaha harus lahir dari dialog lintas pihak, bukan keputusan sepihak berbasis selera atau asumsi individual.


Pelibatan sejarawan, antropolog, budayawan Jambi, serta terutama ahli waris Sultan Thaha Syaifuddin, menjadi prasyarat etis dan kultural. Ahli waris bukan sekadar pemilik hubungan genealogis, tetapi penjaga memori keluarga dan tradisi lisan yang sering kali tidak tercatat dalam arsip formal. Mengabaikan suara mereka berisiko melahirkan representasi yang secara simbolik dianggap keliru dan memicu polemik sosial yang justru melemahkan fungsi patung sebagai pemersatu memori kolektif.


Persamaan persepsi ini penting untuk menghindari apa yang oleh Benedict Anderson disebut sebagai ketegangan imajinasi kolektif, ketika simbol publik gagal diterima karena tidak selaras dengan imaji yang hidup dalam kesadaran masyarakat. Patung pahlawan yang ideal bukan hanya “benar” menurut seniman atau pemerintah, tetapi juga diakui secara kultural oleh komunitas yang mewarisi sejarah tokoh tersebut.


Aspek material dan teknik pun harus ditempatkan dalam kerangka makna. Material logam atau batu tidak sekadar dipilih karena keawetan atau efisiensi anggaran, melainkan karena kesesuaiannya dengan karakter tokoh dan konteks ruang. Finishing yang terlalu industrial justru berisiko menghilangkan aura artistik dan menjauhkan patung dari sifatnya sebagai karya seni.


Kerangka ideal ini menuntut perubahan cara pemerintah daerah mengelola proyek seni publik. Proses penciptaan patung pahlawan seharusnya diawali dengan seleksi atau sayembara terbuka yang dikurasi secara profesional, melibatkan akademisi seni rupa, sejarawan, dan budayawan. Ini bukan soal prosedur, melainkan penghormatan terhadap kompleksitas makna yang diemban patung pahlawan.


Pada akhirnya, patung Sultan Thaha Syaifuddin bukan milik pemerintah atau generasi hari ini semata. Ia adalah milik sejarah dan masyarakat Jambi di masa depan. Mengoreksi dan menyempurnakan representasi bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kedewasaan kultural.

Sejarah tidak akan mengingat siapa yang paling cepat membangun patung, tetapi siapa yang paling jujur dalam menjaga maknanya.